Uang dalam Pandangan Islam

  1. I.                   PENDAHULUAN
    A.    Sekilas Pengertian Uang

Dalam ekonomi Islam, secara etimologi uang berasal dari kata al-naqdu, pengertiannya ada beberapa makna yaitu: al-naqdu berarti yang baik dari dirham, menggenggam dirham, membedakan dirham, dan al-naqdu juga berarti tunai. Kata nuqud tidak terdapat dalam al-Quran dan hadis, karena bangsa Arab umumnya tidak menggunakan nuqud untuk menunjukkan harga. Mereka menggunakan kata dinar untuk menunjukkan mata uang yang terbuat dari emas dan kata dirham untuk menunjukkan alat tukar yang terbuat dari perak. Mereka juga menggunakan wariq untuk menunjukkan dirham perak, kata ‘ain untuk menunjukkan dinar emas.

Sedangkan kata fulus (uang tembaga) adalah alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah. Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang dicetak, tapi mencakup seluruh jenisnya dinar, dirham dan fulus. Untuk menunjukkan dirham dan dinar mereka mengunakan istilah naqdain. Namun mereka berbeda pendapat apakah fulus termasuk dalam istilah naqdain atau tidak. Menurut pendapat yang mu’tamad dari golongan Syafi’iyah, fulus tidak termasuk naqd, sedangkan Mazhab. Hanafi berpendapat bahwa naqd mencakup fulus.

Defenisi nuqd menurut Abu Ubaid (wafat 224 H), seperti yang dikutip Ahmad Hasan dirham dan dinar adalah nilai harga sesuatu. Ini berarti dinar dan dirham adalah standar ukuran nilai yang dibayarkan dalam transaksi barang dan jasa. Senada dengan pendapat ini, Al-Ghazali (wafat 595 H) menyatakan, Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah diantara seluruh harta, sehinga seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Ibn al-Qayyim (wafat 751 H) berpendapat dinar dan dirham adalah nilai harga barang komoditas. Ini mengisyaratkan bahwa uang adalah standar unit ukuran untuk nilai harga komoditas.

Dalam pengertian kontemporer, uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan sebagai standar nilai. Taqyudin al-Nabhani menyatakan, nuqud adalah standar nilai yang dipergunakan untuk menilai barang dan jasa. Oleh karena itu uang didefenisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur barang dan jasa. Jadi uang adalah sarana dalam transaksi yang dilakukan dalam masyarakat baik untuk barang produksi mapun jasa, baik itu uang yang berasal dari emas, perak, tambaga, kulit, kayu, batu, besi, selama itu diterima masyarakat dan dianggap sebagai uang. Untuk dapat diterima sebagai alat tukar, uang harus memenuhi persyaratan tertentu yakni: Nilainya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. 2) Tahan lama. 3) Bendanya mempunyai mutu yang sama. 4) Mudah dibawa-bawa. 5) Mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya. 5) Jumlahnya terbatas (tidak berlebih-lebihan) 6) Dicetak dan disahkan penggunaannya oleh pemegang otoritas moneter (pemerintah). Penerbitan uang merupakan masalah yang dilindungi oleh kaidah-kaidah umum syari’at Islam. Penerbitan dan penentuan jumlahnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, karena itu bermain-main dalam penerbitan uang akan mendatangkan kerusakan ekonomi rakyat dan negara.

Misalnya hilangnya kepercayaan terhadap mata uang akibat turunnya nilai uang yang bisa saja disebabkan oleh pembengkakan jumlah uang beredar, dan sebagainya. Kondisi ini biasanya diringi dengan munculnya inflasi di tengah masyarakat yang justru mendatangkan kemudaratan pada rakyat. Karena ekonom muslim berpendapat bahwa penerbitan uang merupakan otoritas negara dan tidak dibolehkan bagi individu untuk melakukan hal tersebut karena dampaknya sangat buruk.

Dalam hal ini Imam Ahmad mengatakan tidak boleh mencetak uang melainkan dipercetakan negara dan dengan seizin pemerintah, karena jika masyarakat luas dibolehkan mencetak uang akan terjadi bahaya besar. Untuk menjaga stablitas nilai tukar uang, Ibn Taimiyah (1263-1328 M) menegaskan, pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam masalah ini harus mencetak uang sesuai dengan nilai transaksi dari penduduk. Jumlah uang yang beredar harus sesuai dengan nilai transaksi. Ini berarti Ibn Taimiyah melihat hubungan yang erat antara jumlah uang beredar dengan total nilai transaksi dan tingkat harga

B.     Konsep Uang dalam Islam

Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang bukan capital. Sedang uang dalam perspektif ekonomi konvensionl diartikan secara interchangeability/bolak-balik, yaitu uang sebagai uang dan sebagai capital.

Perbedaan lain adalah bahwa dalam konsep ekonomi Islam, uang adalah suatu yang bersifat flow concept dan capital adalah suatu yang bersifat stock concept. Sedang dalam konsep ekonomi konvensional, Frederic S. Miskhin, misalnya mengungkapkan konsep Irving Fisher yang mengatakan bahwa :

Keterangan :

MV = Jumlah uang

V    =Tingkat perputaran uang

P    = Tingkat harga barang

T    = Jumlah barang yang diperdagangkan

Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang (V↑), maka semakin besar income yang di peroleh. Persamaan ini juga berarti bahwa uang adalah flow concept. Fisher juga mengatakan bahwa sama sekali tidak ada korelasi antara kebutuhan memegang uang (demand for holding money) dengan tingkat suku bunga. Konsep ini hampir sama dengan konsep yang ada dalam konsep ekonomi Islam.

Pendapat lain yang diungkapkan oleh Mishkin adalah konsep dari Marshall-Pigou dari Cambridge, yaitu :

Keterangan :

M   = Jumlah uang

k     = 1/v

P    = Tingkat harga barang

T    = Jumlah barang yang diperdagangkan

Walaupun secara matematis k dapat dipindahkan ke kiri atau ke kanan, secara filosofis kedua konsep ini berbeda. Dengan adanya k pada persamaan diatas, menyatakan bahwa demand for holding money adalah suatu proporsi (k) dari jumlah pendapatan (PT). semakin besar k, semakin besar demand for holding money (M), untuk tingkat pendapatan tertentu (PT). Berarti konsep ini mengatakan bahwa uang adalah stock concept. Oleh sebab itu, kelompok Cambridge mengatakan bahwa uang adalah salah satu cara untuk menyimpan kekayaan (store of wealth).

Dalam Islam, capital is private goods, sedangkan money is public goods. Uang yang ketika mengalir adalah public goods (flow concept), lalu mengendap kedalam kepemilikan seseorang (stock concept), uang tersebut menjadi milik pribadi (private goods).

Konsep public goods belum dikenal dalam teori ekonomi sampai tahun 1980-an. Baru setelah muncul ekonomi lingkaran, maka kita berbicara tentang externalities, public goods, dan sebagainya. Dalam islam konsep ini sudah di kenal, yaitu ketika Rosulillah bersabda “Manusia mempunyai hak bersama dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR Ahmad, abu Dawud dan Ibn Majah). Dengan demikian, berserikat dalam hal public goods bukanlah hal yang baru dalam ekonomi islam, bahkan konsep ini sudah terimplementasi, baik dalam bentuk musyarakah, muzara’ah, musaqah, dan lain-lainnya.

KONSEP ISLAM

KONSEP KONVENSIONAL

  • Uang tidak identik dengan modal
  • Uang adalah public goods
  • Modal adalah private goods
  • Uang adalah flow concept
  • Modal adalah stock concept
  • Uang sering di identikkan dengan modal
  • Uang (modal) adalah private goods
  • Uang (modal) adalah flow  concept bagi Fisher
  • Uang (modal) adalah stock concept bagi Cambridge school

PEMBAHASAN

A.    Uang dalam Ekonomi Makro

Ahmad Hasan menjelaskan bahwa dalam islam tidak ada yang di sebut dengan uang (nuqud). Adapun istilah fulus (uang tembaga), istilah itu hanya digunakan sebagai alat tukar tambahan yang digunakan untuk membeli barang-barang murah[1].

  1. Uang sebagai Ukuran Harga.

Ini merupakan fungsi uang yang terpenting. Uang adalah satuan nilai atau standar ukuran harga dalam transaksi barang dan jasa. Ini berarti uang berperan menghargai secara aktual barang dan jasa. Dengan adanya uang sebagai satuan nilai memudahkan terlaksanakanya transaksi dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Al-Ghazali berpendapat uang adalah ibarat cermin. Dalam arti uang berfungsi sebagai ukuran nilai yang dapat merefleksikan harga benda yang ada dihadapannya[2].

Dengan demikian uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri karena uang tidak mempunyai harga tapi ia sebagai alat untuk menghargai semua barang. Fungsi uang menurut Ibn Taimiyah adalah sebagai alat ukur nilai dan sebagai alat pertukaran[3]. Secara khusus Ibn Taimiyah menyatakan uang itu sebagai atsman (harga) yakni alat ukur dari nilai suatu benda. Melalui uang sejumlah benda dapat diketahui nilainya. Uang bukan ditujukan untuk dirinya sendiri.

Fungsi uang secara esensial adalah untuk mengukur nilai benda atau dibayar sebagai alat tukar benda lain. Pemikiran Ibn Taimiyah tentang uang ini meski agak simpel namun sangat penting dan mengemuka. Karena pemikirannya ini berlaku dan dimunculkan lagi setelah dua setengah abad kemudian oleh para pakar ekonomi modern seperi Gresham (1519-1579) yang tekenal dengan Hukum Greshamnya.

Nilai suatu barang dapat dengan mudah dinyatakan yaitu dengan menunjukkan jumlah uang diperlukan untuk memperoleh barang tersebut. Misalnya harga sepatu adalah Rp. 50.000,- , sedangkan harga baju adalah Rp. 25.000,-. Disinilah pentingnya nilai harga yang berlaku untuk mengukur nilai barang harus bersifat spesifik dan akurat, tidak naik dan tidak turun dalam waktu seketika dan tidak berubah-ubah dalam waktu seketika. Seperti yang ditegaskan Ahmad Hasan bahwa uang sebagai standar nilai harus memiliki kekuatan dan daya beli yang bersifat tetap agar bisa berfungsi sebagaimana mestinya.

2.      Uang sebagai Media Transaksi[4]

Uang adalah alat tukar menukar yang digunakan setiap individu untuk transaksi barang dan jasa. Misal seseorang yang memiliki beras untuk dapat memenuhi kebutuhannya terhadap lauk pauk maka ia cukup menjual berasnya dengan menerima uang sebagai gantinya, kemudian ia dapat membeli lauk pauk yang ia butuhkan. Begitulah fungsi uang sebagai media dalam setiap transaksi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

Kondisi ini jelas berbeda dengan system barter tempo dulu, jika orang yang memiliki beras menginginkan lauk pauk maka ia harus mencari orang yang mememiliki lauk pauk yang membutuhkan beras. Jelas ini system yang sangat rumit. Fungsi uang sebagai media pertukaran dalam setiap kegiatan ekonomi dalam kehidupan modern ini menjadi sangat penting. Karena seseorang tidak dapat memproduksi setiap barang kebutuhan hariannya, karena keahlian manusia itu berbeda-beda, disinilah uang memegang peranan yang sangat penting agar manusia itu dapat memenuhi kebutuhan dengan mudah. Uang menjadi media transaksi yang sah yang harus di terima oleh siapa pun bila ia ditetapkan oleh Negara.

Inilah perbedaan uang dengan media teransaksi lain seperti check.[5] Umar bin Khattab r.a berkata “ Saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang berkata kalo begitu unta akan punah maka aku batalkan keinginan tersebut”.[6]

3.      Uang Media Menyimpan Nilai

Uang sebagai store of value berarti uang adalah cara mengubah daya beli dari masa kini ke masa depan. Uang sebagai penyimpan nilai dimaksudkan bahwa orang yang mendapatkan uang kadang tidak mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi ia sisihkan sebagian untuk membeli barang atau jasa yang ia butuhkan pada waktu yang ia inginkan, atau ia simpan untuk hal-hal yang tak terduga seperti sakit mendadak atau menghadapi kerugian yang tak terduga. Hal ini disebabkan karena motiv yang mempengaruhi seseorang untuk mendapatkan uang disamping untuk transaksi juga untuk berjaga-jaga dari kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga seperti kondisi di atas.

Dikalangan ekonom muslim terjadi perbedaan pendapat terhadap fungsi uang sebagai alat penyimpan nilai ini. Mahmud Abu Su’ud seperti yang dikutip Ahmad Hasan, berpendapat bahwa uang sebagai penyimpan nilai adalah ilusi yang batil. Karena uang tidak bisa dianggap sebagai komoditas layaknya barang-barang pada umumnya. Uang sama sekali tidak mengandung nilai pada bendanya. Uang sebagai alat tukar beredar untuk proses tukar-menukar.

Pendapat Abu Su’ud ini agaknya sejalan dengan apa yang diungkarkan oleh al-Ghazali bahwa uang itu ibarat cermin yang hanya dapat menilai sesuatu yang ada di depannya namun tidak dapat menilai dirinya sendiri. Pendapat Abu Su’ud yang meniadakan fungsi uang sebagai penyimpan nilai disatu sisi mendapat dukungan dari Adnan al-Turkiman yang mengkhawatirkan jika uang berfungsi sebagai penyimpan nilai akan terjadi penimbunan uang karena sifat alamiah uang yang tahan lama menungkinkan menyimpannya dalam waktu yang lama dan menahan peredarannya. Namun disisi lain Adnan al-Turkiman membantah pendapat Abu Su’ud yang meniadakan fungsi uang sebagai penyimpan nilai yang ditujukan untuk digunakan dalam proses transaksi dagang pada masa yang akan datang. Monzer Kahf memberikan tanggapan terhadap pendapat Abu Su’ud yang meniadakan fungsi uang sebagai penyimpan kekayaan ini, sebenarnya pelaku ekonomi memungkinkan memilih waktu yang sesuai untuk melakukan transaksinya.

Misalnya sesorang yang memiliki kurma membutuhkan apel di waktu lusa, maka ia dapat saja menjual kurmanya hari ini kemudian pulang dan menyimpan uangnya terlebih dahulu, lusa baru ia membeli apel sesuai dengan waktu ia membutuhkannya. Muhamad Zaki Syafi’i dalam menyikapi hal ini, mencoba membedakan antara menyimpan uang dengan menumpuk uang. Menurutnya menyimpan uang (menabung) dianjurkan. Setiap apa yang lebih dari kebutuhan setelah menunaikan hak Allah adalah tabungan (saving). Sedangkan menimbun uang berarti mencegah untuk melaksanakan kewajiban (hak Allah).

Menurut teori ekonomi Islam, motiv yang mempengaruhi manusia untuk mendapatkan dan memiliki uang adalah untuk transaksi (money demand for transaction) dan motiv berjaga-jaga (money demand for precautionary). Kenyataanya secara ril, seseorang perlu menyimpan uangnya untuk menghadapi hal-hal yang tak terduga, baik disimpan di rumah untuk menghadapi kebutuhan jangka pendek maupun ditabung di bank, atau diinvestasikan dalam bentuk saham. Jika seseorang menyimpan uangnya di bank, secara bisnis, uang akan selalu bergulir dan beredar dalam perekonomian.

Jadi kekhawatiran Abu Su’ud dan Adnan Al-Turkiman, untuk perekonomian modern sekarang tidak beralasan. Karena zaman sekarang inflasi selalu terjadi dari tahun ke tahun dalam tingkat yang berbeda. Jika seseorang menyimpan uangnya dengan cara menumpuknya di rumah dalam jangka waktu yang lama, jelas tindakan itu merugikan dirinya sendiri karena nilai mata uang selalu mengalami penurunan nilai dari tahun ke tahun karena pengaruh inflasi. Dalam Ekonomi Islam, motiv yang mempengaruhi seseorang memiliki uang yang dibenarkan hanya untuk transaksi (money demand for transaction) dan berjaga-jaga (money demand for precautionary).

Dalam Islam, seseorang memiliki uang karena motiv spekulasi dilarang karena uang menurut Islam hanya sebagai alat tukar menukar dan sebagai standar nilai. Sehingga al-Ghazali berpendapat perdagangan uang dengan uang terlarang karena akan memenjarakan fungsi uang sebagai alat pertukaran, jika suatu uang dapat membeli atau dibeli dengan uang lain, maka uang berarti tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar tapi sebagai komoditi, padahal itu dilarang dalam Islam. Berpijak dari teorinya tentang fungsi uang sebagai alat tukar, Ibn Tamiyah pun sangat menentang perdagangan uang, karena tindakan ini menurutnya akan menghilangkan fungsi uang itu sendiri. Perdagangan mata uang berarti membuka pintu kezaliman seluas-luasnya bagi penduduk. Namun ia membolehkan akan pertukaran uang (valas), dengan syarat dalam transaksi ini ada taqabul (pergerakan atau serah terima) uang yang dipertukarkan dan tidak ada hulul (penundaan) pembayaran.

Uang dalam Ekonomi Islam adalah sesuatu yang bersifat flow consept bukan stock concept. Uang harus selalu mengalir, beredar di kalangan masyarakat dalam kehidupan ekonomi karena uang itu adalah public goods, tidak mengendap menjadi milik pribadi dalam bentuk private goods. Teori ekonomi Islam ini agaknya sejalan dengan teori Irving Fisher bahwa mengemukan semakin cepat perputaran uang ( V↑) maka semakin besar income yang diperoleh. Untuk itu Islam menolak pandapat yang menyatakan uang bersifat stock consept yang menyatakan uang adalah salah cara untuk menyimpan harta kekayaan (store of wealth).

Kekayaan atau capital adalah private goods atau benda-benda milik pribadi yang hanya beredar pada individu tertentu saja. Sedangkan uang adalah public goods benda-benda yang dimiliki oleh semua orang dan harus beredar pada semua orang. Dalam hal ini al-Ghazali sangat mengecam tindakan seseorang yang menimbun uang karena tindakan itu berarti menarik uang dari peredaran.

Dalam teori moneter penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang yang jelas akan memperkecil terjadinya transaksi dan berakibat pada lesunya perekonomian. Islam sebetulnya mendorong investasi, bukan menimbun uang. Dalam keadaan harga–harga barang stabil, menyimpan kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan dari pada menyimpannya dalam bentuk barang. Yakni disimpan di bank. Namun dalam realitasnya harga-harga selalu mengalami kenaikan yang pesat, nilai uang terus mengalami kemerosotan. Maka kekayaan yang berupa uang akan mengalami penurunan nilai kalau dibandingkan dengan kekayaan yang berbentuk barang.

Dalam keadaan seperti ini berarti uang bukanlah alat penyimpan kekayaan yang baik. Dengan demikian menjadikan fungsi uang sebagai alat menyimpan nilai tidak tepat. Dalam menghadapi kondisi ini maka menyimpan kekayaan lebih tepat dalam bentuk saham, atau obligasi ataupun dalam bentuk rumah. Seperti yang ditegaskan Muhamad Usman Syabir, meyimpan kekayaan dalam bentuk uang tidaklah menguntungkan, karena uang selalu mengalami penurunan nilai. Dalam keadaan seperti ini lebih baik menyimpan kekayaan dalam bentuk saham ataupun benda berharga lainnya seperti rumah. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, menimbun uang itu diharamkan, dikarenakan dampaknya terhadap harga, lalu daya beli bagi uang[7].

  1. Perubahan Fungsi Uang

Menurut sistem ekonomi kapitalis, uang selain sebagai alat tukar ia juga adalah komoditas yang bisa diperdagangkan, sementara ekonomi Islam tidak mengakui fungsi yang satu ini. Sistem kapitalis mengenal adanya tiga fungsi uang;

1.      Medium of Exchange
2.      Unit of Account
3.      Store of Value

Sedangkan dalam ekonomi Islam, hanya dikenal adanya 2 fungsi :

1.      Medium of Exchange (for transaction)
2.      Unit of Account

Dalam Islam, fungsi pertama ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange. Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional, sebagaimana kita lihat di atas adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan.

Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena Rumus time value of money :

FV=PV(1+i)n
Sebenarnya mengambil/mengadopsi dari teori pertumbuhan populasi, dan tidak ada dalam ilmu finance. Rumus pertumbuhan populasi adalah sebagai berikut :

Pt=Po(1+g)t
Jadi future value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke-t, present value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke-0, sedangkan tingkat suku bunga dianalogikan dengan tingkat pertumbuhan populasi.

1.      Commodity Money

Pada asalnya uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan pengukur nilai sebuah komoditas. Namun, dengan menyebarluasnya sistem bunga dalam transaksi keuangan saat ini, fungsi uang sudah bertambah menjadi sebuah komoditas, dan itu diharamkan karena ini biasanya menjadi problematika terbesar moneter pada khususnya dan perekonomian pada umumnya[8]. Fungsi uang sebagai komoditas didukung oleh beberapa teori keuangan kontemporer seperti dalam Loanable Funds Theory.

Dalam teori ini bunga (interest) dianggap sebagai harga dari dana yang tersedia untuk dipinjamkan (loanable fund) yang menjadi salah satu variable yang mempengaruhi tingkat penawaran (supply of ) dan permintaan (demand for) dari loanable fund tersebut. Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa penyuplai loanable fund akan bersedia memberikan pinjaman uang kepada peminjam hanya apabila si peminjam bersedia mengembalikan uang pinjamannya dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya. Selisih antara jumlah yang harus dibayarkan peminjam dan pokok pinjamannya itulah yang disebut bunga. Secara kontrak, harga (bunga) tersebut mesti dibayar peminjam dalam keadaan apa pun (usaha si peminjam untung atau rugi) kepada pemberi pinjaman, karena si pemberi pinjaman dianggap sudah menjual sebuah komoditas yang disebut dengan uang.

Di sini sangat jelas terlihat bahwa dalam sistem keuangan yang berlaku sekarang, uang sudah dianggap sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Hal ini berlawanan dengan pandangan Islam yang tidak menerima fungsi uang sebagai suatu komoditas. Hal itu dikarenakan uang tidak memenuhi syarat sebagai sebuah komoditas. Menurut Syeikh Muhammad Taqi Usmani, pakar Syariah keuangan Islam, setidaknya ada 3 faktor yang membedakan uang dengan komoditas. Pertama, uang tidak memiliki kegunaan instrinsk (intrinsic utility).

Berbeda dengan komoditas, uang tidak bisa dimakan, dipakai, atau digunakan secara langsung. Uang hanya bisa ditukar dengan komoditas, lalu komoditas itu yang akan di makan, dipakai atau digunakan. Dalam istilah ekonomi, uang hanya memiliki value in exchange sementara komoditas memiliki value in exchange dan value in use sekaligus. Kedua, uang tidak memerlukan kualitas untuk menentukan nilainya, dalam artian uang kertas Rp 100,000 yang sudah lusuh terbitan tahun 2007 dengan uang kertas Rp 100,000 yang baru terbitan tahun 2009 memiliki daya beli yang sama. Lain halnya dengan komoditas, sebagai contoh, mobil Honda Jazz keluaran 2007 dengan Honda Jazz keluaran Januari 2009 memiliki harga yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kualitas antara kedua mobil di atas yang tecermin dari perbedaan nilai dan harganya. Ketiga, uang tidak memerlukan spesifikasi ketika berlakunya transaksi, sementara komoditas mempunyai sifat yang spesifik ketika berlakunya transaksi.

Sebagai contoh, jika kita ingin membeli barang kita akan memilih barang yang kita inginkan sesuai selera kita, seperti warna, aksesoris pelengkap lainnya. Artinya, jika si penjual menawarkan barang yang sama tapi warnanya tidak sesuai dengan selera kita mungkin kita akan menolak. Tetapi, lain halnya dengan uang yang bersifat tidak spesifik. Sebagai contoh, untuk pembayaran tagihan listrik bulanan sebesar Rp 300.000. kita bisa membayar tagihan tersebut dengan menggunakan tiga lembar uang Rp 100.000 atau empat lembar uang Rp 50.000 ditambah satu lembar Rp 100.000 bahkan kita bisa bayar tagihan tersebut dengan tiga ratus lembar Rp 1.000. Bagi si penerima tidak akan ada perbedaan nilai dalam ketiga cara pembayaran di atas. Ada satu lagi tambahan perbedaan antara uang dengan komoditas, khususnya dengan uang fiat yang kita gunakan sekarang ini. Uang kertas (fiat money) yang berlaku saat ini tidak memiliki nilai intrinsik (intrinsic value). Uang kertas menjadi alat tukar yang sah melalui undang-undang yang dikeluarkan sebuah negara yang menyatakan keabsahan uang tersebut.

Hal ini menunjukkan bahwa diterimanya uang kertas sebagai alat pembayaran hanya dikarenakan faktor kepercayaan kepada pemerintah yang menjamin keabsahan uang kertas tersebut. Artinya, apabila kepercayaan itu hilang atau berkurang maka nilai uang tersebut akan melemah (terdepresisasi) dikarenakan orang lebih banyak melepas, dengan cara menjual uang tersebut, daripada ingin memilikinya. Karena jelas, memilikinya tidak punya nilai intrinsik. Namun, perlu juga ditegaskan di sini bahwa uang fiat adalah uang yang sah di sisi syariah. Penulis tidak setuju dengan pandangan bahwa hanya uang emas yang sah di sisi syariah. Memang, benar uang emas adalah uang yang paling baik dan paling stabil nilainya, dan kalau kita bisa kembali menggunakan emas sebagai standar nilai uang, sudah tentu sistem keuangan dunia akan jauh lebih baik.

Namun, mengklaim bahwa hanya emas atau perak saja yang diakui Islam sebagai uang dan selain emas dan perak maka tidak sah, hal ini adalah klaim yang berlebihan. Imam Malik pernah berkata bahwa seandainya masyarakat menjadikan kulit hewan sebagai mata uang, niscaya beliau akan melarang jual beli kulit hewan tersebut melainkan dengan tunai dan tidak boleh tertangguh. Walaupun pada hari ini kita bersemangat untuk kembali kepada uang emas sebagai standar nilai mata uang, kita tidak perlu berlebihan dan ekstrem dengan mengatakan bahwa uang fiat adalah haram. Mengharamkan yang halal adalah sama saja buruknya di sisi Islam dengan menghalalkan yang haram. Kalau uang fiat haram, sudah tentu mas kawin kita menjadi tidak sah, dan perkawinan kita juga tidak sah, maka anak-anak kita juga adalah jadi anak haram.

2.      Token Money[9]

Goldsmith (orang yang meminjamkan uang) dan para bankir menyadari bahwa meminjam komoditi (seperti emas perak) dan kemudian mengeluarkan tanda penerimaan (receipt) akan menghasilkan keuntungan. Mereka akan memberikan bunga atas deposit koin emas dan perak. Apabila harga emas batangan naik dan daya beli koin turun, maka mereka dapat melebur koin tersebut menjadi bentuk batangan, atau bila harga di luar lebih tinggi dari harga di dalam maka mereka akan menjual keluar. Kedua aktivitas tersebut akan memberikan keuntungan.

Semakin tanda terma (receipt) yang berputar di antara para depositor, maka goldsmith dan para bankir akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk menggunakan dan perak tersebut dan memperoleh lebih banyak keuntungan. Ini adalah contoh pertama dalam sejarah moneter Inggris mengenai token money dari aktivitas lembaga keuangan. Tanda terima (receipt) yang pertama dilakukan oleh goldsmith dan kemudian oleh bank menjadi medium of exchange. Jelaslah sekarang bahwa tanda terima (receipt) untuk deposit, atau bank notes yang selanjutnya disebut token menggantikan commodity money. Kertas tanda terima ini (receipt) dapat di tukarkan dengan koin emas apabila dibutuhkan.

Kemudian masyarakat zaman dahulu telah berusaha meningkatkan manfaat uang logam dengan mencetk koin yang didasarkan pada satuan standar tertentu. Karena stabilitas nilai uang adalah tanggung jawab pemerintah, maka pencetakan uang di monopoli oleh pemerintah dan masyarakat di larang untuk mencetak dan mengedarkan uang palsu. Sejalan dengan waktu, uang logam ini kemudian di ganti dengan paper notes dan mata uang (uang legal atau M1).

3.      Deposit Money[10]

Semakin pesatnya pertumbuhan industry dalam rangka memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat, mengakibatkan semakin tingginya kebutuhan uang dalam jumlah besar, misalnya untuk keperluan pembangunan pabrik, pembelian mesin, pembelian bahan baku dalam jumlah besar, pengiriman barang dalam jumlah besar, juga transaksi antar Negara dalam jumlah besar.

Untuk itu dibutuhkan perubahan di bidang keuangan, terutama tentang cara pembayaran. Banyak para pengusaha membayar tagihan mereka dengan menggunakan cheques. Hanya pengeluaran kecil, gaji para karyawan, dan transportasi yang di bayar dengan tunai.

Menurut Irving Fisher (1867-1947), cheques bukan uang, tapi hanya merupakan order tertulis (written order) untuk mentransfer uang. Perlu di bedakan antara transfer instrument, cheque, dan objek actual yang di transfer yaitu bank deposit. Transfer belum mempengaruhi bank deposit pengirim sampai uang tersebut di cairkan. Pada waktu bank member pinjaman kepada seseorang, bank tidak memberikan dalam bentuk tunai (cash). Dengan demikian bank membuat uang baru (deposit), melebihi dan diatas notes dan coins (token atau legal money) yang di buat oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan penting yang telah merubah perbankan modern adalah kemampuan bank deposit untuk mengubah “purveyors of money” menjadi “creator of money”.

C.    Uang dalam Fungsi Utilitas[11]

Dalam teori klasik, fungsi utilitas uang adalah :

Keterangan :

f = Fungsi utility

Xi = Jumlah komoditi

Pi = Harga komoditi

M = Jumlah uang yang diterima

Y = Pendapatan nominal

Mo = Jumlah awal yang dimiliki

Dari fungsi diatas terlihat bahwa uang meruapakan fungsi utilitas secara tidak langsung (indirect utility function). Dalam teori Neo-Classical, fungsi uang di rumuskan sebagai berikut:

Dengan budget constraint :

Keterangan :

f = Fungsi utility

Xi = Jumlah komoditi

Pi = Harga komoditi

M = Jumlah uang yang diterima

Y = Pendaptan nominal

Mo = Jumlah awal yang dimiliki

Dari persamaan diatas terliha bahwa uang merupakan fungsi utilita yang langsung (direct utility function). Perbedaan fungsi utilitas apakah termsuk ke dalam indirect utiliy function atau direct utility function, bukanlah menjadi masalah bagi kit, karena perbedaan tentang hal ini hanya terjadi di dalam teori ekonomi konvensional.

Dan konsep Islam tentang utilitas, uang hanya diakui sebagai intermediary form, hanya di akui sebagai medium of exchange dan unit of account tidak lebih dari ini. Artinya, fungsi uang hanya sebagai medium dari barang yang satu berubah menjadi barang yang lain, tidak perlu adanya double coincidence needs. Jadi dalam konsep Islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi uang. Dalam hadits-hadits Rasulullah SAW. Bisa kita lihat peran uang sangat sentral dalam teori ekonomi Islam. Salah satu contoh adalah peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW.

Pada suatu hari, Bilal bin Rabah ingin menukar 2 sha’ kurma yang sangat buruk dengan 1 sha’ kurma yang baik, maka Rasulullah mengatakan “Tidak boleh menjual kurma yang buruk dan mendapatkan dinar, lalu membeli kurma yang baik dengan dinar tersebut” (HR Bukhari). Menurut Rasulullah setiap kurma mempunyai harga masing-masing. Oleh karena itu menjadi sangat naïf apabila dikatakan dalam teori Islam tidak ada konsep uang.

D.    Economic Value of Time[12]

Islam tidak mengenal time value of money, yang dikenal adalah economic value of time. Contohnya dalam menghitung nisbah bagi hasil di bank syariah. Dalam proses perhitungan nisbah, return on capital harus di perhitungkan. Return on capital ini tidak sama dengan return on money. Return on capital tergantung kepada jenis bisnisnya dan berkaitan dengan sektor riil, sedangkan return on money berkaitan dengan interest rate.

Penentuan nisbah bagi hasil harus dilakukan di awal, dan untuk itu di gunakan project return. Jika actual return tidak sama dengan angka proyeksinya, maka digunakan adalah angka aktual, bukan angka proyeksi. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mengenal time value of money. Time mempunyai economic value jika dan hanya jika waktu tersebut dimanfaatkan dengan menambah faktor produksi yang lain, sehingga menjadi capital dan dapat memperoleh return.

E.     Uang sebagai Flow Concept[13]

Dalam Islam uang adalah flow concept dan capital adalah stock concept. Semakin cepat perputaran uang akan semakin baik. Misalnya seperti contoh pada aliran air masuk dan air keluar. Sewaktu air mengalir, disebut sebagai uang, sedangkan apabila air tersebut mengendap, maka disebut sebagai capital. Wadah tempat mengendapnya di sebut private goods. Uang seperti air, apabila uang dialirkan, maka uang tersebut akan bersih dan sehat (bagi ekonomi). Apabila uang diendapkan dalam suatu tempat (menimbun uang), maka air tersebut akan keruh/kotor. Saving harus di investasikan ke sektor riil. Apabila tidak, maka saving bukan saja tidak mendapat return, tapi juga dikenakan zakat.

F.     Uang sebagai Public Goods[14]

Ciri dari public goods adala barang tersebut dapat digunakan oleh masyarakat tanpa menghalangi orang lain untuk menggunakannya. Begitu pula dengan uang, sebagai public goods, uang dimanfaatkan lebih banyak oleh masyarakat yang lebih kaya. Hal ini bukan karena simpanan mereka di bank, tetapi karena asset mereka seperti rumah, mobil, saham dan lain-lain. Yang digunakan di sektor produksi, sehingga memberi peluang yang labih besar kepada orang tersebut untuk memperoleh lebih banyak uang. Jadi semakin tinggi tingkat produksi, akan semakin besar kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari public goods (uang) tersebut. Oleh karena itu, penimbunan (hoarding) dilarang karena menghalangi yang lain untuk menggunakan public goods tersebut. Jadi, jika dan hanya jika private goods di manfaatkan pada sektor produksi, maka kita akan memperoleh keuntungan.

III.             PENUTUP

Implikasi Konsep Uang Dalam Kehidupan Masyarakat

Dalam Islam uang itu sendiri tidak dianggap, sebagai modal sebenarnya hanya ada ketika uang, bersama dengan sumber daya lainnya, tenggelam ke dalam kegiatan produktif. Menghubungkan penggunaan uang untuk tujuan produktif selalu membawa ke tindakan faktor tenaga kerja, proses dari yang menguntungkan sampaikan kepada masyarakat.

Beberapa pemikir Muslim awal membahas masalah uang dan ekonomi moneter Misalnya, diskusi IbnMiskawaih’s pertukaran menggabungkan fungsi uang sebagai alat tukar. Dia juga menjelasakan standar emas. Al-Ghazali, membahas uang dan fungsinya. Pengamatan penting adalah bahwa fungsi-fungsi ini terganggu mendapatkan uang ketika orang permintaan uang untuk itu demi uang. Sangat menarik untuk dicatat bahwa ide yang terdapat dalam apa yang dikenal dalam literatur kontemporer sebagai Gresham hukum tersebut dibicarakan secara eksplisit dalam karya Taqiyyuddin Ahmad. Hukum hanya mengatakan bahwa uang yang buruk mengusir uang yang bagus dari pasar, karena orang cenderung menggunakan uang buruk untuk transaksi dan menyimpan uang yang baik, dan dengan demikian uang yang baik menghilang dari pasar. Al-Maqrizi menemukan ini terjadi di Mesir dan menganalisis fenomena tersebut. Al Imam Ibni Taimiyyah juga membahas hukum yang sama. Kredit untuk kontribusi dalam literatur barat masuk ke Thomas Gresham, penulis abad kesembilan belas.

Sistem keuangan yang berlaku sekarang, uang sudah dianggap sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Hal ini berlawanan dengan pandangan Islam yang tidak menerima fungsi uang sebagai suatu komoditas. Hal itu dikarenakan uang tidak memenuhi syarat sebagai sebuah komoditas.

KONSEP DAN IMPLEMENTASI DINAR DAN DIRHAM

A. KONSEP

There is nothing permanent except change. Demikian Heraclitus, seorang ahli filsafat Yunani mengungkapkan. Sejak 450 tahun Sebelum Masehi, Heraclitus meyakini bahwa kehidupan umat manusia memang dinamis, selalu berubah. Tidak terkecuali dalam ranah kehidupan ekonomi kita. Berbagai temuan baru bermunculan, sebut saja kartu ATM, sms banking, mobile banking, bank, dan bahkan uang itu sendiri. Produk-produk ciptaan manusia tersebut didesain agar membantu manusia dalam menjalani aktifitas perekonomiannya.

Namun pengkajian ulang atas temuan-temuan manusia tersebut perlu diketengahkan kembali untuk menilai kesesuaian tujuan dalam pelaksanaannya. Uang contohnya, saat ini telah melekat image yang memposisikannya sebagai simbol kebahagiaan, kesuksesan, serta kekuasan. Paradigma inilah yang membuat orang memburu uang dengan cara apapun, sebab dengan uang urusan menjadi lancar, dapat memperoleh kebahagiaan, dapat memuaskan apa yang diinginkan, dan menjadi orang yang berkuasa untuk memerintah dan merendahkan orang lain. Implikasinya, sikut menyikut dan menghalalkan berbagai macam cara menjadi modus yang populer.

A1. Sejarah

Berbicara uang, maka kita tidak bisa lepas dari sejarah asal-usul kemunculannya. Dimana ketika awal peradaban manusia ada, istilah ini sama sekali asing, “uang”. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan yang lain, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena terdapat perbedaan faktor geografis, iklim, musim dan yang lainnya, maka terjadi pertukaran komoditas di antara sesama manusia. Pertukaran tersebut menggunakan sistem muqayadhah atau mubadalah yang kita kenal dengan istilah “barter”. Pertukaran barang yang tidak dibutuhkan dengan barang yang dibutuhkan, secara langsung.

Namun dalam praktek pelaksanaannya, barter mengandung banyak kesulitan dan kelemahan, mulai dari soal kesetaraan barang yang ditukar, sampai ketika salah satu pihak merasa tidak membutuhkan komoditi yang ditawarkan. Untuk itulah manusia melakukan perubahan-perubahan dan menggunakan barang perantara yang bersifat umum dan dapat digunakan sebagai alat tukar (Samuelson dan Nordhaus, 2001). Dimana barang perantara itu kemudian kita sebut sebagai nuqud (uang).

Seiring berkembangnya zaman, maka perubahan jenis-jenis uang pun turut berkembang, antara lain :

1.      Nuqud al-Sil’iyyah

Adalah jenis pertama dan paling lama dari uang. Jenis uang ini ada setelah ditemukannya beberapa bahan logam seperti besi, tembaga, perak, maupun emas. Jenis uang ini dibuat dengan menggunakan bahan-bahan logam tersebut.  Tercatat dalam sejarah bahwa ditemukan dua mata uang yang terkenal di dunia.

Pertama, mata uang yang dibuat dari emas. Yang dibuat, diedarkan, dan digunakan oleh orang-orang Romawi. Mata uang ini bernama denarius. Kita mengenalnya sebagai dinar. Kemudian yang kedua bernama dirham, yaitu mata uang yang dibuat dari perak oleh orang-orang Persia. Dari informasi ini dapat ditarik kesimpulan lain bahwa dinar dan dirham ini sebenarnya telah ada sebelum kekuasaan Islam lahir.

Sebuah pertanyaan yang cukup wajar mungkin akan diajukan, “mengapa kedua logam ini dipilih sebagai alat tukar barang?”. Jawabanya adalah, karena emas dan perak adalah golongan logam yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan logam yang lain. Selain tentunya karena emas dan perak adalah benda yang tidak mudah rusak dan lekang oleh api.

2.      Nuqud al-Waraqiyyah

Seiring pemanfaatan logam mulia (emas dan perak) sebagai alat tukar, dalam pelaksanaan selanjutnya terjadi perubahan bentuk secara fisik. Pada zaman dahulu para pedagang yang menyimpan dinar emas di lembaga keuangan akan menerima secarik surat tanda penitipan emas. Lambat laun surat bukti penitipan emas tersebut digunakan sebagai alat pembayaran. Maka lahirlah yang disebut kemudian dengan uang kertas. Begitu pula dengan dirham. Karena alasan kepraktisan, manusia mulai memikirkan pembuatan alat tukar perak yang lebih sederhana dan tidak terlalu membebani. Dan inilah cikal bakal terciptanya uang logam.

Namun, jauh sebelum itu pada permulaan abad ke-IX Masehi rakyat Cina telah menggunakan jenis uang ini, dis saat belum ada negeri lain saat itu yang menggunakannya, berulah pada abad ke-XVI muncul uang kertas di berbagai negara.

3.      Nuqud al-Mashrafiyyah

Adalah uang yang disimpan di bank dengan menggunakan cek sebagai media transaksinya.

A2. Perbedaan Uang Fiat dengan Dinar dan Dirham

Penggunaan mata uang berdasarkan emas dan perak dinilai sangat stabil.  Stabil karena dia tidak ada kaitan dengan penurunan nilai mata uang dan inflasi. Hal ini dikarenakan dinar dan dirham hanya memiliki dua harga (nilai). Nilai akuntannya sama dengan nilai moneternya, karena dinar dan dirham terbuat dari logam mulia yang bobotnya sama dengan nilai akuntannya.

Nilai akuntan adalah nilai nominal resmi yang tertulis pada mata uang kertas atau logam. Sedangkan nilai moneter merupakan nilai hakiki (intrinsik) dari sebuah mata uang, yaitu nilai mata uang itu jika diukur dengan barang dan jasa yang mungkin didapat dengan satuan uang tersebut, atau dengan kata lain nilai moneter ini adalah daya beli dari sebuah mata uang.

Ambil contoh, seekor ayam pada masa rosulullah saw, harganya satu dirham. Hari ini, 15 abad kemudian, harganya kurang lebih satu dirham. Dengan demikian, selama 1500 tahun, inflasi dirham adalah nol. Hal ini berbeda dengan uang kertas yang kita kenal sekarang ini. Uang kertas ternyata tidak memiliki nilai yang sama antara nilai hakiki dengan nilai fisiknya, nilai tukarnya terhadap mata uang asing juga dapat berubah setiap detik, sehingga kemungkinan inflasi setiap tahunnya sangat besar.

Nilai mata uang US$, Euro, Pondsterling, Yen, atau Rupiah sekalipun tidak akan pernah berada dalam “save point” dari inflasi. Ketika sebuah mata uang kehilangan nilainya, jatuhnya akan sangat tragis, seperti yang terjadi di Zimbabwe, dimana pada tahun 1982 US$ 1 setara dengan Z$ 1 (satu dollar Zimbabwe). Sekarang sekitar Z$ 200.000 untuk membeli US$ 1.

Konsep uang fiat inilah yang kemudian ditolak oleh Islam, karena dicetak dari bahan yang tidak memiliki nilai. Dengan seigniorage, selisih biaya cetak dengan nilai yang tertera, amat jauh. Sebagai misal untuk uang kertas US$ 1, membutuhkan biaya cetak US$ 0.05. Maka dari itu nilai seigniorage nya sebesar US$ 0.95. Seigniorage ini merupakan keuntungan negeri pengeluar uang fiat yang didapat dari kekayaan riil negeri pengguna. Dalam hal ini tentu terjadi perpindahan kekayaan, kemiskinan dan ketidakadilan sosial, dimana hanya dengan modal kecil, negara kaya menyedot kekayaan negeri lain. Hutang yang sulit dilunasi dari generasi ke generasi dan ketergadaian kedaulatan menjadi sebuah hal yang niscaya.

Ekonomi Islam mengajarkan nilai-nilai luhur yang universal. Dikatakan universal karena nilai-nilai luhur tersebut dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari akhir. Nilai-nilai tersebut diantaranya seperti : keadilan, kemanfaatan (maslahah), kebersamaan, kejujuran, kebenaran, keseimbangan, transparasi, anti eksploitasi, anti penindasan dan anti kedzaliman. Semua nilai-nilai tersebut menjadi prinsip utama ekonomi Islam atau yang diistilahkan tsawabit wa mutaghayyirat (principles and variables). Bahkan secara khusus dalam transaksi harus didasarkan para prinsip rela sama rela, an taraddin minkum.

A3. Fungsi Uang Serta Keunggulan Dinar dan Dirham

Fungsi uang secara umum :

  1. Medium of change, dimana uang berfungsi sebagai alat tukar yang memiliki daya beli hingga dapat ditukarkan dengan barang dan jasa
  2. Store of value, sebagai penyimpan harta kekayaan baik dalam bentuk komoditi maupun jasa
  3. Unit of account, sebagai pengukur nilai atau harga barang dan jasa dilihat dari nilai nominal dibandingkan dengan macam-macam barang
  4. Acquittance, untuk membebaskan dari beban kewajiban atau tanggungan

Persamaan fungsi uang dalam sistem ekonomi Islam dan konvensional adalah uang sebagai alat tukar (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang mengubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Amat bertolak belakang dengan konsep ekonomi Islam yang menjadikan harta (capital) sebagai objek zakat, harta yang harus dikeluarkan, sedangkan pada sistem konvensional justru malah memberikan bunga atas harta. Dalam konsep ekonomi Islam, uang adalah uang, bukan capital, hanya sebagai alat tukar. Sebagai alat tukar ia tidak menghasilkan nilai tambah apapun, kecuali apabila ia dikonversi menjadi barang atau jasa.

Ekonomi Islam secara jelas membedakan antara money dan capital. Dimana money adalah flow concept. Dengan kata lain, semakin cepat money berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat, dan oleh karenanya akan semakin baik perekonomian. Money adalah public good, sedangkan capital adalah private goods. Money adalah milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar, stagnasi. Sedangkan capital, adalah milik pribadi, dan oleh karenanya menjadi objek zakat. Bagi yang tidak memproduktifkannya, maka Islam menganjurkan untuk melakukan musyarakah atau mudharabah bisnis dengan bagi hasil. Bila tidak ingin beresiko Islam mengajurkan qardl, yaitu meminjamkan capital-nya tanpa imbalan apapun.

Hal tersebut sangat berlainan dengan konsep konvensional, yaitu baik money maupun capital adalah private goods. Sebagaimana  Colin Rogers dalam bukunya “Money, Interest and Capital” mengatakan, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian. Tidak jelas. Analoginya adalah sama saja apakah capital diinvestasikan dalam proses produksi atau tidak, maka capital itu harus menghasilkan uang. Dikenallah konsep time value money sehingga terjadilah riba dan pemberlakuan bunga atas uang. Akhirnya uang tidak lagi diperlakukan semata-mata sebagai alat tukar, tetapi juga sebagai komoditas yang menghasilkan bunga.

Beberapa bukti sejarah yang sangat bisa diandalkan karena diungkapkan dalam al-Qur’an dan Hadits dapat kita pakai untuk menguatkan teori bahwa harga emas (Dinar) dan perak (Dirham) yang tetap, sedangkan mata uang lain yang tidak memiliki nilai intrinsik terus mengalami penurunan daya beli (terjadi inflasi)

Dalam Al-Qur’an yang agung, Allah berfirman : “Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: ”Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita tinggal (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu tinggal (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun”. (QS. Al-Kahf ,18:19)

Pada ayat diatas diungkapkan bahwa para pemuda tersebut meminta salah satu rekannya untuk membeli makanan ke kota dengan uang peraknya. Tidak dijelaskan jumlahnya, tetapi yang jelas uang perak. Kalau kita asumsikan para pemuda tersebut membawa 2-3 keping uang perak saja, maka ini konversinya ke nilai Rupiah sekarang akan berkisar Rp 100,000. Dengan uang perak yang sama sekarang (1 Dirham sekarang sekitar Rp 32,000) kita dapat membeli makanan untuk beberapa orang. Jadi setelah lebih kurang 18 abad, daya beli uang perak relatif sama. Coba bandingkan dengan Rupiah, tahun 70-an akhir seorang anak kos bisa makan satu bulan dengan uang Rp 10,000,-. Apakah sekarang ada anak kos yang bisa makan satu bulan dengan uang hanya Rp 10,000 ? jawabannya tentu tidak. Jadi hanya dalam tempo kurang dari 30 tahun saja uang kertas kita sudah amat sangat jauh perbedaan nilai atau kemampuan daya belinya.

Mengenai daya beli uang emas Dinar dapat kita lihat dari Hadits berikut :

”Ali bin Abdullah menceritakan kepada kami, Sufyan menceritakan kepada kami, Syahib bin Gharqadah menceritakan kepada kami, ia berkata : saya mendengar penduduk bercerita tentang ’Urwah, bahwa Nabi S.A.W memberikan uang satu Dinar kepadanya agar dibelikan seekor kambing untuk beliau; lalu dengan uang tersebut ia membeli dua ekor kambing, kemudian ia jual satu ekor dengan harga satu Dinar. Ia pulang membawa satu Dinar dan satu ekor kambing. Nabi S.A.W. mendoakannya dengan keberkatan dalam jual belinya. Seandainya ‘Urwah membeli debupun, ia pasti beruntung” (H.R.Bukhari).

Dari hadits tersebut kita bisa tahu bahwa harga pasaran kambing yang wajar di zaman Rasulullah, SAW adalah satu Dinar. Kesimpulan ini diambil dari fakta bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang sangat adil, tentu beliau tidak akan menyuruh ‘Urwah membeli kambing dengan uang yang kurang atau berlebihan. Fakta kedua adalah ketika ‘Urwah menjual salah satu kambing yang dibelinya, ia pun menjual dengan harga satu Dinar. Memang sebelumnya ‘Urwah berhasil membeli dua kambing dengan harga satu Dinar, ini karena kepandaian beliau berdagang sehingga ia dalam hadits tersebut didoakan secara khusus oleh Rasulullah, SAW. Diriwayat lain ada yang mengungkapkan harga kambing sampai 2 Dinar, hal ini mungkin-mungkin saja karena di pasar kambing manapun selalu ada kambing yang kecil, sedang dan besar. Nah kalau kita anggap harga kambing yang sedang adalah satu Dinar, yang kecil setengah Dinar dan yang besar dua Dinar pada zaman Rasulullah SAW maka sekarangpun dengan ½ sampai 2 Dinar (1 Dinar pada saat tulisan ini dibuat = Rp 1,489,958) kita bisa membeli kambing dimanapun di seluruh dunia – artinya setelah lebih dari 15 abad daya beli Dinar tetap.

Stabilitas nilai dinar juga tidak terlepas dari berbagai faktor lain yang menunjang kestabilan nilai uang tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah : penawaran dan permintaan uang, pemercepatan peredaran uang, maupun kebijakan fiscal dan moneter. Faktor-faktor tersebut mengacu pada satu titik : yaitu adanya keseimbangan antara uang dan barang.

Berbagai aturan dalam perdagangan seperti larangan talaqqi-rukban (memonopoli barang untuk tujuan memainkan harga), larangan kanz mal (menimbun barang sehingga tidak produktif), dan larangan terhadap transaksi-transaksi spekulatif, juga diterapkan. Aturan di atas mempengaruhi keseimbangan antara pasar barang dan pasar uang berdasarkan transaksi tunai. Dalam aturan transaksi Islami lainnya ketika komoditi dibeli saat ini, tetapi pembayarannya dilakukan kemudian, uang dibayarkan atau diterima untuk mendapatkan komoditas atau jasa, sehingga terjadi pemercepatan peredaran uang. Dengan kata lain, uang dipertukarkan dengan sesuatu yang benar-benar menciptakan nilai tambah buat perekonomian. Transaksi lain seperti judi, riba, dilarang dalam Islam, sehingga keseimbangan antara arus uang dan barang dapat dipertahankan. Mengingat perputaran uang dalam periode tertentu relative stabil, dapat disimpulkan jumlah uang dalam suatu perekonomian sama dengan nilai barang dan jasa yang diproduksi. Dengan demikian stabilitas nilai uang dapat tercipta.

B. IMPLEMENTASI

Dengan mengetahui keunggulan-keunggulan penggunaan dinar dan dirham dalam aktifitas ekonomi dibandingkan dengan penggunaan fiat money, maka tidak ada alasan untuk tidak mengimplementasikannya. Meski kesimpulannya sesederhana yang dituliskan, tidak demikian dengan pengimplementasiannya. Terlebih dengan memperhatikan beberapa faktor yang menjadi hambatan :

  • Kondisi masyarakat yang belum mengenal konsep dinar dirham
  • Dibutuhkannya negara lain yang menerapkan konsep yang sama
  • Permasalahan masih beredarnya uang konvensional yang ada
  • Cadangan emas yang mungkin dibeberapa negara deficit

Namun dengan melihat pada kendala-kendala yang dihadapi, maka solusi yang mungkin bisa kita ambil adalah sebagai berikut :

1. Memberikan pemahaman masyarakat

Penggunaan dinar dan dirham secara moneter akan lebih baik bila didukung terlebih dahulu melalui pengenalan terhadap inti tujuan Islam, khususnya untuk pembayaran zakat. Terlebih lagi konsep-konsep perdagangan, jual-beli yang dijunjung tinggi oleh Islam.

Yang termasuk dalam tahapan ini adalah penetapan standar yang digunakan terhadap penghitungan nilai nominal satu dinar dan dirham. Meskipun beberapa dinar ada yang dibuat 24 karat, namun berdasarkan standard World Islamic Trade Organization (WITO), nilai satu dinar itu setara dengan 4.25 gram emas 22 karat dengan diameter 23 mm. Dengan bentuk yang tidak harus ditetapkan sama.

2. Menerbitkan dan mengedarkan dinar dan dirham

Untuk memfasilitasi pengenalan dan peredaran mata uang berupa dinar dan dirham, serta penggunaannya dalam perdagangan, dapat diawali oleh satu negeri yang menerima dinar dan dirham sebagai legal tender. Hal ini akan mengembangkan jangkauan globalnya dan akan membuka kemungkinan melakukan kontrak dagang dengan satuan hitung dinar dan dirham.

3.      Mendirikan Bank Kustodian

Untuk memonitor dan memastikan masing-masing anggota memenuhi jumlah minimal yang disyaratkan simpanan emasnya. Bank kustodian ini cukup didirikan di salah satu negara anggota.

4. Memulihkan lagi karavan dan rute dagang

Hal ini untuk meratakan penyebaran uang dinar dan dirham. Terlebih membangun kembali pasar terbuka, dimana siapa pun dapat melakukan aktifitas ekonomi, tanpa pasar tersebut dimiliki oleh siapapun. Tidak seperti ekonomi modern yang menggiring kita untuk mengangkat bangkir-bangkir ke istana, sementara pedagang-pedagang tercecer ke jalanan.

Ibnu Khaldun dengan kemampuannya yang tajam mengenali suatu fenomena monopoli dan mendapatkan bahwa masa kesejahteraan selalu diiringi oleh masa kemerosotan. Ia mengatakan “Bila kamu ingin mengetahui di masa apa kamu hidup, pergilah ke pasar. Bila pasar dikuasai oleh sedikit kalangan raja, berarti itu adalah masa kemorosotan. Bila pasar terbuka bagi semua orang, berarti itu adalah masa kesejahteraan

5. Dinar Changer

Amat sangat rumit untuk menyeragamkan mata uang beberapa negara, dengan menempuh jalur politik dari persatuan moneter seperti yang dilakukan EURO. Bagaimana dengan macam-macam uang kertas yang beredar di negara-negara anggota ketika harus disamakan menjadi dinar dan dirham? Jawaban yang mungkin adalah dengan membangun sebuah sistem yang memiliki fungsi in-exchange dan out-exchange, yaitu fungsi dimana pemilik uang kertas dapat mengkonversi uang kertas tersebut ke dalam dinar dan dirham, atau sebaliknya. Dan bisa pula dilakukan tidak secara fisik, melainkan secara virtual, melalui rekening.

6. Sistem transfer

Agar dapat melakukan transaksi pembayaran global secara instan, dan semudah yang dapat dilakukan oleh bank-bak saat ini, dengan kemudahan transaksi melalui internet, maka perlu diterapkan sistem transfer berbasis elektronik / virtual. Dimana tersedia pula fungsi spend, dimana pemilik rekening dapat mentransfer kepada pemilik rekening dinar lainnya, serta fungsi redeem dimana pemilik rekening dapat mengkonversi dinarnya menjadi dinar fisik.

7. Cadangan emas

Negara-negara yang memiliki reserve emas mencukupi diundang untuk bergabung. Sedang negara anggota yang memiliki defisi perdagangan harus memindahkan emasnya ke rekening kustodian dari negara yang mengalami surplus perdagangan. Negara-negara anggota dapat membeli komoditi dari negara-negara yang miskin reserve emas, sehingga lambat laun mereka juga akan mengakumulasi emas yang dalam derajat tertentu bisa turut mendukung terjadinya perdagangan.

8.  Membelikan dolar dalam jumlah yang signifikan dengan emas


[1] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 80

[2] ibid

[4] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 81

[5] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 81

[6] Jaribah bin Ahmad al-haritsi. 2010. Fikih ekonomi Umar bin Khattab. KHALIFA. Jakarta. h. 336

[7] Jaribah bin Ahmad al-haritsi. 2010. Fikih ekonomi Umar bin Khattab. KHALIFA. Jakarta. h. 341

[8] Jaribah bin Ahmad al-haritsi. 2010. Fikih ekonomi Umar bin Khattab. KHALIFA. Jakarta. h. 340

[9] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 80

[10] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 86

[11] ibid

[12] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 86

[13] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 88

[14] Adiwarman A Karim. 2007. Ekonomi Makro Islam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. h. 89

Leave a comment